
Bagian ke 1/2
Di tengah hiruk-pikuk persiapan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, jagat maya diramaikan oleh satu simbol yang tak biasa: bendera bajak laut. Tepatnya, Jolly Roger—ikon tengkorak bertopi jerami dari anime One Piece, yang dikibarkan oleh banyak anak muda Indonesia. Dari halaman rumah, kampus, hingga punggung motor, simbol ini berkibar gagah seolah menjadi bendera alternatif di tengah euforia nasionalisme.
Banyak yang bertanya: “Apa hubungannya bendera bajak laut dengan cinta tanah air?” Sebagian bahkan mencibir, menyebut ini sebagai bentuk kemunduran nasionalisme, atau lebih parah lagi—pengkhianatan terhadap simbol-simbol negara. Tapi benarkah begitu?
Justru di sinilah letak pertanyaan yang lebih penting: apakah nasionalisme hari ini harus selalu ditampilkan dalam bentuk lama?
Generasi yang Tumbuh dalam Dunia Simbol
Generasi Z, yang kini mendominasi ruang digital dan ruang publik, adalah generasi yang lahir dalam derasnya budaya populer. Mereka tidak hanya mengonsumsi anime, musik K-Pop, atau game daring; mereka hidup di dalamnya. Di balik bendera One Piece yang mereka kibarkan, tersimpan makna yang tak sederhana: kebebasan, solidaritas, persahabatan, dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan—nilai-nilai yang juga menjadi fondasi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
One Piece sendiri bukan sekadar kisah petualangan bajak laut. Ia adalah narasi panjang tentang mimpi yang diperjuangkan, tentang kelompok kecil yang berani melawan kekuasaan tiran, tentang keberanian menolak tunduk pada sistem yang menindas. Tak heran jika simbolnya begitu resonan bagi generasi muda yang tengah mencari bentuk perjuangan mereka sendiri di tengah dunia yang makin kompleks.
Nasionalisme Tidak Harus Seragam
Kritik terhadap pengibaran bendera One Piece sering datang dari cara pandang nasionalisme yang seragam—bahwa cinta tanah air hanya sah jika ditunjukkan lewat upacara, seragam, lagu kebangsaan, atau simbol formal. Padahal, nasionalisme yang sehat justru adalah yang mampu beradaptasi dengan zaman, menjangkau anak muda lewat bahasa yang mereka mengerti, tanpa kehilangan substansi nilai.
Generasi Z punya cara berbeda dalam menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia. Mereka mengekspresikan diri melalui karya digital, konten kreatif, hingga penggunaan simbol yang mungkin asing bagi generasi sebelumnya. Tetapi jika yang mereka suarakan adalah keadilan, kebebasan berpikir, dan solidaritas sosial—bukankah itu juga nasionalisme?
Menghormati yang Lama, Merangkul yang Baru
Tentu saja, bukan berarti semua bentuk ekspresi boleh seenaknya. Mengibarkan bendera fiksi menggantikan Merah Putih dalam upacara resmi tentu tidak etis, bahkan bisa melanggar hukum. Tapi ketika dilakukan di ruang pribadi, sebagai bentuk kreativitas atau identifikasi budaya pop, hal itu bisa menjadi jembatan dialog antar-generasi.
Yang kita butuhkan bukan pelarangan, tapi edukasi dan pemahaman. Ajarkan nilai-nilai nasionalisme yang tak kaku. Biarkan anak muda menyuarakan semangat kebangsaan mereka dengan cara mereka sendiri, selama tidak melanggar etika dan hukum. Karena nasionalisme yang dipaksakan akan mati, tapi nasionalisme yang tumbuh dari kesadaran akan mengakar.
Menuju HUT RI ke-80
Menjelang 80 tahun Indonesia merdeka, kita dihadapkan pada tantangan baru: bukan sekadar menjaga Merah Putih berkibar, tapi memastikan semangat kemerdekaan tetap hidup di dada generasi muda. Boleh jadi, mereka tak lagi mengutip pidato Bung Karno, tapi mereka menonton One Piece dengan mata yang bersinar, terinspirasi oleh tokoh-tokoh yang berani melawan ketidakadilan—mirip dengan para pejuang bangsa di masa lalu.
Jadi, apa salahnya bendera bajak laut?
Mungkin bukan salah benderanya, tapi cara kita memahami bahwa cinta tanah air bisa lahir dari berbagai bentuk. Dan di era sekarang, salah satunya adalah lewat anime, fandom, dan simbol-simbol pop culture. Karena di tangan Gen Z, nasionalisme tidak mati—ia hanya berubah rupa. (Jiyong 2025)
Oleh: Achmad Haromain
Dosen FEB UMT