Sandal Jepit di Tanah Suci

Di antara jutaan langkah yang membekas di Tanah Suci, terselip satu kisah sederhana tapi menyentuh: kisah sandal jepit. Alas kaki yang sering dianggap remeh ini, justru menjadi saksi setia perjuangan spiritual jutaan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Dalam gelombang manusia berpakaian ihram putih bersih, berjalan dari satu ritual ke ritual lain, sandal jepit hadir bukan sekadar alas kaki, tapi simbol kesederhanaan, ketahanan, dan ketulusan.

Menapak di Tanah Suci, Menapak Makna

Di tengah teriknya padang Arafah, debu Mina, bebatuan Muzdalifah, hingga lantai marmer Masjidil Haram yang sejuk meski matahari menyengat, sandal jepit menjadi penopang utama. Ia ikut diajak berlari kecil saat sai, menyusuri jalan menuju Jamarat, dan kadang tertinggal di rak-rak masjid, namun tetap dicari.

Ada jamaah yang rela menyusuri jalan balik hanya demi sepasang sandal jepitnya yang hilang. Bukan karena mahal harganya, tapi karena rasa kepemilikan dan sejarah perjalanan bersama.

Filosofi Kesederhanaan

Tak sedikit jamaah yang tetap memilih sandal jepit meskipun mampu membeli sepatu mahal. Sebab haji bukan soal penampilan, tapi keikhlasan dalam beribadah dan merendahkan hati di hadapan Allah. Sandal jepit mengajarkan nilai kesederhanaan dalam kebersamaan: bahwa tidak semua yang rendah nilainya rendah pula maknanya.

Sama seperti ibadah haji yang menghapus sekat status sosial, sandal jepit juga tak mengenal pangkat. Ia digunakan oleh profesor, petani, pedagang, pejabat, hingga pelajar. Semua sejajar di hadapan Tuhan.

Satu Pasang, Seribu Kenangan

Sepasang sandal jepit bisa menyimpan ribuan kenangan. Ia tahu persis lelahnya kaki yang berwukuf di Arafah, gontai langkah saat mabit di Muzdalifah, hingga khusyuknya hati kala thawaf mengelilingi Ka’bah. Bahkan banyak jamaah yang memilih membawanya pulang, meski usang, sebagai simbol kenangan suci yang tak tergantikan.

Pelajaran dari Sandal Jepit

Sandal jepit mungkin tak masuk daftar barang mewah. Tapi di Tanah Suci, ia menjadi teman seperjalanan ibadah yang penuh arti. Ia mengajarkan keteguhan, kesetiaan, dan kesahajaan. Menjadi pengingat bahwa dalam perjalanan menuju Tuhan, kesederhanaan justru membuat kita lebih dekat dan khusyuk.

Jadi jika suatu saat kita melihat sepasang sandal jepit di teras masjid atau tergeletak di antara ribuan kaki jamaah, jangan remehkan. Mungkin ia sedang menanti tuannya—seorang hamba yang tengah menapak jalan pulang menuju cinta Ilahi._(jiyong 2025)_

Oleh: Haromain
_Dosen FEB UMT_

Berita sebelumyaHadiri Rakornas Pengelolaan Sampah, Sachrudin Tegaskan Komitmen Transformasi Sampah Jadi Energi